Thursday 7 February 2013

Resensi Buku: Rumah Kecil di Rimba Besar

Rumah Kecil di Rimba Besar (Little House, #1)
sumber gambar: goodreads


Judul: Rumah Kecil di Rimba Besar #1 (Little House-Seri Laura)
Judul Asli: Little House in the Big Woods
Penulis: Laura Ingalls Wilder
Penerjemah: Djokolelono
Ilustrator: Garth Williams
Tebal: 216 hal.
Penerbit: Libri (pernah diterbitkan dengan judul yang sama oleh BPK Gunung Mulia)
Tahun Terbit: 2011 cet. I
Penghargaan: Laura Ingalls Wilder pernah mendapat Laura Ingalls Wilder Award tahun 1954 dan karyanya dengan judul Little House in the Big Woods ini mendapat Lewis Carroll Shelf Award di tahun 1958.

Dulu sekali, gadis berkepang yang tak pernah diam ini menjadi tokoh favoritku. Dialah Laura, yang diperankan oleh Melissa Gilbert. Lincah, pemberani, dan pintar, juga selalu ceria.  Saat itu hari Minggu adalah hari paling dinanti karena tayangan film ini di TVRI. Meski televisi saat itu hanya menunjukkan dua warna: hitam putih dengan tebaran semut kecil jika angin menggoyangkan antena yang dipasang dengan bambu tinggi-tinggi, kami tetap duduk manis menikmatinya hingga usai.

Tanpa disangka aku menemukan buku Little House in the Prairie di perpustakaan SMP-ku. Buku itu masih rapi, dan sepertinya akulah peminat pertamanya. Saat kelas kami mendapat giliran meminjam, serta merta kupilih buku itu.

Bertahun-tahun kemudian, aku mencari buku itu di toko karena ingin mengenang Laura, tapi tak pernah kutemukan. Syukurlah kini seri Laura bisa didapatkan dengan mudah.
Untuk seri pertamanya ini, jangan berharap akan menemukan konflik yang terjadi antara Laura dan teman-temannya, terutama si rambut bergelombang Nelly, yang cantik tapi judes.

Di seri ini, kita hanya akan menemukan kehidupan tenang Laura, Mary, Carrie bersama Pa dan Ma. Kehidupan yang menyenangkan dan damai di antara pohon-pohon besar, di pinggiran Rimba Besar, daerah Wisconsin, tahun 1870.

Rumah mereka dari balok kayu kelabu, dan makanan mereka tersedia di sekitarnya. Membayangkan cara mereka menimbun makanan untuk musim dingin sangat menyenangkan. Madu yang disimpan di dalam batang pohon yang dibentuk sedemikian rupa, labu-labu, kol, wortel, daging, mentega, dan segala macam persediaan makanan hasil buruan Pa yang ditimbun di loteng.
Cara mereka menabung makanan mengingatkanku pada novel klasik The Yearling.

Sama seperti masyarakat pedesaan Indonesia (khususnya Jawa Tengah) zaman dulu, yang biasanya mempunyai lumbung padi untuk persiapan jika musim panen berakhir. Di atas tungku dapur, bergantungan jagung (masih dengan kulitnya) juga labu (waluh), bahan makanan cadangan selain padi.

Dalam buku pertama seri Laura ini, cerita yang mengesankan adalah saat Pa kebingungan melawan beruang madu di malam hari, yang ternyata hanyalah tonggak kayu.
Jika di televisi, adegan paling mengesankan adalah cara mandi mereka, terutama Laura dan Mary. Biasanya kami akan tertawa terbahak jika melihat Laura diangkat oleh Pa, dicemplungkan ke dalam drum kayu sepinggang Pa yang dipenuhi air.

Kehidupan mereka yang sederhana, dekat dengan alam, mengambil sesuai kebutuhan, sungguh menerbangkanku ke masa kecil di desa tempat kelahiranku. Deskripsi alamnya yang detail hingga kita seakan bisa mencium harumnya gula maple (aku membayangkan gula jawa), cocok untuk anak umur berapa saja. Tetapi jika melihat teks, huruf, dan ketebalannya, sepertinya anak usia 9-10 tahun baru bisa melahapnya tuntas.
Oya, aku suka banget dengan model baju Laura dan topi lebarnya. Sayang sekali tak menemukan fotonya.
sumber foto: http://www.answers.com/topic/little-house-on-the-prairie-tv-series-1.
Pemeran dalam film:

  • Michael Landon as Charles Ingalls (1974–83)
  • Karen Grassle as Caroline Quiner Ingalls (1974–82)
  • Melissa Gilbert as Laura Ingalls Wilder (1974–83)
  • Melissa Sue Anderson as Mary Ingalls Kendall (1974–81)
  • Lindsay and Sidney Greenbush as Carrie Ingalls (1974–82)


  • Resensi ini aku ikutsertakan dalam RC Read a Long with Children Lit dengan tema Laura Ingalls 
    dan Fun Year With Children’s Literature : Fun Months 1 (tema award winner) di blog Bacaan B Zee.


    Kalian masih bisa ikut juga dalam challenge ini. Daftar saja di sini.

    Sunday 3 February 2013

    Jurnal Jo vs So B. it

    So B. It (Biarkan Berlalu)
    sumber: goodreads
    Jurnal Jo
    sumber: goodreads



     Sering sekali, kan, kita menemukan cover buku yang mirip satu sama lain. Aku tidak hendak menjustifikasi atau menganggap itu buruk atau sebaliknya. Jujur saja aku sekadar tertarik dengan hal ini. Kalau bisa, sih, ingin tahu apakah memang sengaja dibuat mirip atau cover A menjadi ide dasar dari sang desainer cover saja atau bahkan sama sekali tak ada hubungannya, bahkan si desainer tak tahu menahu soal cover yang ternyata mirip itu.
    Misteri sebuah ide. Sama seperti konten sebuah novel, tak sekali dua kali saya menemukan hal-hal yang mirip, bahkan beberapa teman penulis pernah kaget karena ternyata apa yang ia tulis mirip dengan penulis yang lain, padahal ia sama sekali belum membaca atau mendengar cerita itu.
    Jadi begitulah sebuah ide, kita tak bisa begitu saja memberikan justifikasi bahwa si A mencontek si B. Jadi saya lebih suka jika menikmatinya saja sebagai sebuah kreativitas.

    Posting pertamaku tentang Cover Mirip adalah antara novel So B. it dan Jurnal Jo.
    Keduanya sama-sama novel teenlit terbitan Gramedia. Aku baru membaca Jurnal Jo. Ceritanya asyik, meskipun itu ditujukan untuk anak SMP (yeah ... pantas utk anakku beberapa tahun lagi :D ) tetapi aku bisa menikmatinya. Justru bisa digunakan sebagai pegangan menyelami dunia anak sekarang.

    Sayangnya So B. it tidak jadi aku beli, hanya kutimang-timang lalu kuletakkan kembali. Jika ketemu lagi mungkin sebaiknya aku beli untuk mengetahui apakah isinya pun mirip.

    Friday 1 February 2013

    The Railway Children

    The Railway Children: Anak-Anak Kereta Api
    Penulis: Edith Nesbit
    Alih Bahasa: Widya Kirana
    Desain dan Ilustrasi Sampul : Satya Utama Jadi
    Penerbit: Gramedia
    Tahun Terbit: Juni 2010 (cet. ke-2)
    Juml Hal: 312 hal.

    Tadinya mereka bukan anak-anak kereta api.
    Begitulah cerita ini dimulai. Mereka adalah anak-anak biasa yang tinggal di pinggiran kota bersama Ayah dan Ibu, dan segala macam perlengkapan modern. Perubahan itu datangnya sangat tiba-tiba. Peter sedang berulang tahun yang ke-10. Hadiah paling menarik yang diterimanya adalah si Lokomotif. Saat sedang memainkannya dengan Phyliss, adik perempuannya, si Lokomotif meledak. Tak ada yang bisa memperbaiki, kecuali Ayah.Roberta, kakak perempuan mereka pun tak bisa berbuat apa-apa.

    Untunglah Ayah pulang, tapi Peter tahu sopan santun, sehingga menunggu Ayah selesai makan malam dan menikmati cerutu-habis-makannya. Saat itulah dua orang pria ingin bertemu Ayah. Sejak saat itu, Ayah pergi hingga keesokan harinya. Mereka terus menunggu, tapi keesokan harinya, dan hari berikutnya, dan setelah itu, Ayah tak juga muncul. Tak ada yang tahu dan tak ada yang mau memberitahu.

    Tiba-tiba mereka harus pindah ke sebuah pedesaan, meninggalkan rumah mereka yang nyaman. Sejak itulah kisah seru ketiga anak itu dimulai bersama 'kereta api'.
    Mereka harus tinggal di sebuah rumah tua yang dingin dan lembah dan gelap dan tikus. Hari berikutnya niat 'baik' Peter untuk membantu ibunya mendapatkan batubara ternyata tak sebaik akibatnya. Kisah-kisah seru mereka alami. Kisah paling berkesan adalah ketika usaha mereka melambaikan selembar kain setiap hari, setipa kereta api lewat mendapat sambutan dari seorang pria tua, salah satu penumpang kereta.

    Edith Nesbit menceritakan mereka sebagaimana adanya seorang anak-anak. Kadang patuh kepada Ibu mereka yang 'sempurna', kadang menimbulkan masalah dan berkelahi sebagaimana layaknya kakak beradik. Kisah mereka manis dan mengharukan.
    Setting pedesaan (Yorkshire) dengan padang rumput dan kebun dan bukit khas novel klasik seperti Secret Garden, Heidi, Pollyana, juga the Story Girl.   

    Rahasia tentang Ayah tersimpan hingga akhir cerita. Edith Nesbit mengakhiri ceritanya dengan sangat manis dan menggemaskan. Gaya penuturan yang ditujukan langsung kepada pembaca membuat saya menutup buku dengan senyuman yang baru memudar setelah beberapa menit.
    "Kurasa sebaiknya kita tidak membuka pintu itu dan mengikutinya ke dalam. Kurasa, saat ini, kehadiran kita di sana hanya akan mengganggu. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah mundur perlahan-lahan, lalu pergi diam-diam ...."

    Banyak puisi yang dibuat oleh Ibu untuk ketiga anaknya. Salah satunya puisi yang dibuat ketika Roberta (Bobbie) ultah yang ke-4 dan saya sangat suka. Tak hanya indah tapi ada unsur belajar berhitung di dalamnya :
    Ayah sayang, umurku baru empat,
    Dan aku tak mau jadi tua
    Paling asyik umur empat,
    Dua tambah dua atau satu tambah tiga

    Aku pilih dua tambah dua
    Ibu, Peter, Phil, dan Ayah
    Yang Ayah cintai satu dan tiga,
    Ibu, Peter, Phil, dan Roberta

    Beri aku cium manis
    Karena aku pandai membuat puisi.

    Kisah-kisah ketiga kakak beradik ini penuh dengan keberanian, tekad, kasih sayang, dan kepedulian dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga buku ini cocok untuk pembaca mulai usia 10 tahun.

    sumber foto: dokumen pribadi
    Kisah lain:
    Saya membaca novel ini ketika dalam perjalanan ke Jakarta dengan kereta api bersama suami dan kedua anak saya. Setengah sengaja memilih buku ini untuk menemani perjalanan dan mengambil fotonya di dalam kereta.


    Posting ini saya ikutsertakan dalam Reading Challenge Fun Year Event with Children Literature bulan Januari (FMs-1) dengan tema CLASSIC yang diselenggarakan oleh Bacaan B Zee.