Tuesday 25 October 2016

Surga Retak

Judul: Surga Retak
Penulis: Syahmedi Dean
Editor: Desmonia Ningrum
Penerbit: Gramedia
Ilustasi sampul: Iksaka Banu
Cetakan pertama, Juli 2013
Halaman: 488
ISBN: 978-979-22-9632-7

SINOPSIS

Anjani Suri dan Fatma (kembarannya) harus melintasi hutan di malam hari bersama Bapak. Suri harus memegang jaket bapak kuat-kuat agar tak terlempar dari sepeda motor. Sementara. Fatma yang sedang demam harus dijaga agar tetap duduk tegak.
Kemiskinan dan kebodohan yang membuat hidup mereka menderita. Bapak menjual istrinya di meja judi, hingga akhirnya sang istri melarikan diri ke China untuk bekerja. Suri dan Fatma hanya mendengar kabar dari para tetangga. Karena sedihnya, Fatma berjanji tak akan bicara sama sekali. Jadilah Fatma membisu sepanjang waktu.
Setelah menempuh perjalanan malam yang berat, mereka tiba di sebuah rumah kayu kecil, berlantai tanah, dan beratap rumbia. Suri tidak tahu mengapa mereka harus pergi. Meninggalkan rumah, sekolahnya, dan Murad, teman laki-laki yang padanyalah benih rasa cinta Suri tumbuh untuk yang pertama.
Sejak awal pindah, Suri sudah merasakan banyak keanehan di sekitarnya. Bapaknya lebih sering pergi. Ada perempuan lain bernama Tante Nur dan Rohana yang sebaya Suri, yang tiba-tiba menganggap mereka kerabat. Bahkan Bapak sering menginap di rumah Tante Nur. Suri dan Fatrma antara sedih dan nyaman. Sedih karena Bapak sudah mengkhianati ibu. Nyaman karena Tante Nur memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Pindah rumah ternyata tidak membuat kehidupan Suri dan Fatma membaik. Bahkan banyak kejadian mencekam di tepi perkebunan karet itu. Perkelahian hingga penembakan misterius. Orang-orang hanya bergantung pada Nek Ginthuk,  seorang wanita tua yang dipercaya dapat menyelesaikan segala persoalan masyarakat di kampung tersebut. Bahkan akhirnya Suri tinggal bersama Nek Ginthuk. Meski banyak orang yang merasa takut pada perempuan tua itu, tapi justru Suri merasa aman dan nyaman. Dari Nek Ginthuk, Suri belajar banyak hal. Suri melihat dunia yang lebih luas hingga berkenalan dengan Wilson, pemuda keturunan China. Wilson lah yang menolong Suri saat berada dalam bahaya. Saat itu, tiba-tiba ada segerombolan orang membunuh Bapak dan berniat membawa Suri. Kampung menjadi kacau. Nek Ginthuk segera menyuruh Suri lari menemui Wilson dan meminta bantuan. Agar lebih aman, Wilson membawa Suri ke rumah Tante Esther di Medan.
Dari sinilah kehidupan Suri berubah. Suri yang naif dan baik, seperti bola yang menggelinding mengikuti kontur tanah tempat dia berada. Menggelinding dari satu tempat ke tempat lain. Dari rumahnya yang tenang menuju rumah baru yang penuh tragedi, berpindah menuju Medan dengan kehidupan yang lebih modern, hingga tiba di negara Singapura dengan segala kemewahan dan kerahasiaannya.


REVIEW

Novel ini berlatar belakang di daerah perkebunan Deli. Mengisahkan kondisi masyarakat di masa orde baru, ketika perkebunan peninggalan Belanda menjadi rebutan para petinggi negara. Banyak peristiwa yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Tiba-tiba ada pembunuhan, perampokan, hingga perseteruan menjelang pemilu. Keluarga Suri adalah salah satu contoh masyarakat yang menjadi korban keadaan chaos itu. Bapak mewakili sosok warga yang menggantungkan hidup dari berjudi. Kebiasaan yang ternyata merupakan peninggalan Belanda untuk membodohkan rakyat sekaligus merampok uang mereka diam-diam.
Selain perjudian, tanah Deli juga dipenuhi dengan pelacuran. Murad, anak laki-laki yang belum genap berusia 17 tahun adalah salah satu korban dari sebuah keluarga yang berantakan karena kemiskinan. Bapaknya pergi entah ke mana, dan ibunya karena harus bertahan hidup terpaksa menjual Murad pada para istri orang kaya.
Deli adalah emas bagi Belanda (dahulu) dan para pejabat, tetapi "neraka" bagi penduduk aslinya. Masyarakat Deli juga sangat kompleks karena Belanda mendatangkan orang-orang dari China, Bagelen (Jawa), juga orang-orang India ke tanah Deli.

Sejujurnya saya bingung mereview novel ini. Banyak sekali tokoh yang dilibatkan dalam cerita dan masing-masing tokoh memiliki kisah hidupnya sendiri-sendiri. Main Character memang Suri, tetapi saya justru tidak jatuh simpati pada sosok Suri. Tak ada daya juang dalam diri Suri yang cukup besar. Padahal dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan juga perasaan benci, cinta, dan tipu daya orang-orang di sekelilingnya harusnya cukup membuat Suri lebih agresif mengubah nasib dan meraih mimpinya.
Suri seperti boneka yang keberatan peran. Dari peran anak yang ditinggal ibunya, memiliki bapak yang tak peduli, saudara kembar yang membisu, hingga dijadikan alat untuk menceritakan zaman penjajahan Belanda dengan "dibebani" kemampuan melihat dunia lain.  
Saya memang tidak menyukai kisah-kisah seperti itu, tetapi lebih disayangkan lagi, karena kemampuan Suri masuk ke dunia lain itu tidak menuju ke mana-mana. Jika dihilangkan pun tidak akan mempengaruhi jalan cerita karena tak ada hubungan dengan konflik yang dialami Suri dan juga tidak membawa penyelesaian. Mungkin akan lebih asyik jika cerita tentang Deli di masa penjajahan Belanda diungkapkan dari berbagai sudut pandang tokoh. Misal dari Nek Ginthuk atau dari Bapak.  

Saya hampir menyerah di halaman 200-an, tetapi saya berharap akan ada kejutan di halaman selanjutnya. Jadi, saya bertahan meski banyak yang hanya saya baca sekilas.  Setelah halaman 300-an, saya seperti membaca novel Bekisar Merah-nya Ahmad Tohari dengan ending yang lebih metropolis.
Karena penulisnya pernah menjadi wartawan fashion & lifestyle di majalah Femina maka tak kaget jika ada sentuhan fashion dan lifestyle era orde baru di novel Surga Retak. Tas dan sepatu branded ala Channel pun terselip dalam novel ini. Tak heran juga jika ada sosok macam Murad dan gay kita temui.
Jika Murad mengalami transformasi dalam hidupnya, begitu juga dengan Fatma, sayangnya transformasi Suri seakan-akan hanyalah kebetulan. Hanya seperti bola yang mengikuti kontur tanah tempatnya menggelinding.       
 Meski agak kecewa, tetapi saya jadi lebih tahu tentang Deli dan masyarakatnya juga intrik politik yang terjadi menjelang dan setelah kerusuhan Mei 98.  

CATATAN LAIN:

Covernya cukup artistik menurut saya. Font-nya tidak membuat sakit mata untuk novel setebal 488 halaman. Sayangnya, di halaman 240 bagian dalam buku langsung terbelah jadi dua. Hampir semua buku tebal terbitan Gramedia mengalami hal yang sama. Entah terbelah jadi dua atau kertasnya lepas di sana sini.

Saya membeli buku ini karena nama Syahmedi Dean. Saya tertarik dengan tulisannya sejak membaca salah satu dari novel tetralogi fashion-nya.  

Sunday 16 October 2016

Apapun Selain Hujan

Judul: Apapun Selain Hujan
Penulis: Orizuka
Editor: Yulliya
Penerbit: GagasMedia
Desainer sampul: Agung Nugroho
Jumlah halaman: 288
Cetakan: Pertama, 2016
ISBN: 979-780-850-5

Sinopsis:

Wira membenci hujan. Lebih tepatnya takut pada hujan. Hujan mengingatkannya pada satu hari ketika sebuah tragedi terjadi. Sedih, menyesal, takut membuat Wira melarikan diri dari orang-orang yang akan mengenalinya. Dia bersembunyi sekaligus berusaha melupakan kenangan buruk itu. Wira meninggalkan cita-citanya, gadis yang disayanginya, semuanya.
Sayang, hujan tetap turun di tempat Wira bersembunyi bahkan lebih sering. Dan pertemuannya dengan Kayla si calon dokter hewan yang berawal dari seekor kucing yang kuyup karena hujan mengubah segalanya.

Curhat Buku

Saya membeli buku ini sudah lama. Hanya beberapa saat setelah bukunya terbit dan masih ada di rak paling depan toko buku G**Media. Kebetulan saat itu sedang ada dicount 30 % untuk pengguna kartu BNI. Langsung saya sambarlah buku dari penulis favorit ini.
Kenapa baru sekarang menyelesaikan membacanya? Itu kebiasaan saya. Entah kenapa kalau baca buku dari penulis favorit saya jadi sayang kalau nanti tiba-tiba selesai. Makanya meski buku ini saya bawa ke mana-mana, tetap saja baru saya selesaikan kemarin.

REVIEW

Prolog novel ini memang sudah mengundang rasa ingin tahu dan tak sabar untuk membuka halaman berikutnya. Bab berikutnya dimulai dengan adegan Wira yang sudah berada di Fakultas Teknik Unibraw Malang. Wira sengaja melupakan semua kenangan buruk dan rasa bersalah, dengan mengambil kuliah di kota Malang. Kota yang menurutnya cukup jauh dari Jakarta untuk melarikan diri.
Kehilangan sahabat yang bahkan "disebabkan" oleh kita meski tak sengaja memang bisa menyebabkan trauma. Saat Faiz, sahabat dan partner Wira dalam bermain taekwondo pergi untuk selamanya, sejak saat itulah Wira takut pada hujan. Saat Faiz pergi, hujan sedang turun dengan deras. Maka setiap kali hujan mulai menitik, tubuh Wira gemetar oleh kenangan buruk itu.

Sayangnya, Wira justru harus bertemu dengan Kayla karena seekor kucing yang akhirnya dinamai Sarang. Kayla seorang taekwondoin dan itu membuat Wira seakan dipaksa membuka kenangan buruk saat SMA. Wira ingin menghindar tapi Kayla yang mengingatkannya pada sosok Nadine selalu datang. Dulu Nadine, Faiz, dan Wira adalah tiga sahabat yang tak terpisahkan. Mereka berdua selalu ada untuk Wira yang canggung menghadapi lingkungannya. Background hidup Wira sebagai anak tunggal dengan kedua orang tua yang jarang mengajaknya bicara semakin membuat Wira menjadi sosok yang tidak percaya diri.

Karakter Wira dan Kayla mirip karakter Aris dan Naina di novel Orizuka yang berjudul 17 Years of Love Song. Wira (dan Aris) sosok anak lelaki pendiam dan penurut dan cenderung murung, sementara Kayla (dan Naina) sosok gadis yang ceria, penuh semangat, dan selalu berinisiatif.
Karena bujukan Kayla, akhirnya Wira sedikit berubah bahkan bersedia masuk klub taekwondo.

Mulai bab ini semangat saya untuk melanjutkan membaca jadi drop. Sepanjang saya membaca novel Orizuka baru kali ini saya mengalaminya. Menurut saya, perubahan Wira terlalu drastis. Untuk trauma dan karakter yang digambarkan sejak awal, seharusnya Wira tak bisa begitu saja membuka rahasianya pada seorang Kayla. Mestinya ada proses yang lebih smooth sampai akhirnya Wira memiliki alasan yang lebih kuat untuk mau bercerita.
Syukurlah bab itu bisa saya lalui dan semangat untuk menyelesaikan kembali naik.

Untuk menambah konflik, Orizuka menghadirkan sosok Attar, cowok tegap tampan dan senior di club taekwondo. Wira, Kayla, Attar terlibat dalam cinta segitiga. Orizuka memang pintar meramu cerita sehingga kisah cinta segitiga yang diselipkan dalam novel ini meski mainstream tapi enak dinikmati.
Apapun selain hujan, ternyata adalah kalimat dalam penggalan adegan saat Kayla marah pada Wira. Untuk menebus kesalahannya, Wira berusaha meminta maaf. Saat itu hujan deras turun. Kayla berdiri di tengah hujan dan menantang Wira untuk bergabung dengannya sebagai tanda maaf.
"Apapun selain hujan," jawab Wira. Wira akan melakukan apa saja untuk meminta maaf, apapun itu asalkan tidak berada di bawah hujan.

Karena setting utama di Malang, jadi pembaca akan disuguhi beberapa dialog khas arek (orang) Malang.

Bagi saya sosok Nadine dan Kayla sama pentingnya bagi perubahan karakter Wira, jadi saya malah tidak merasa ada perbedaan signifikan siapapun yang dipilih oleh Wira.

Ada satu lagi yang sedikit dilewati Orizuka entah sengaja atau tidak yaitu tentang trauma Wira. Di halaman 252 tiba-tiba dituliskan bahwa dokter yang menangani Wira mengatakan bahwa kemungkinan Wira mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Syndrome). Saya agak bingung, sih, karena sejak halaman awal tidak pernah disinggung kalau Wira pernah berada di bawah terapi dokter. Selain itu, adegan ini dibiarkan begitu saja. Jadi pembaca tidak tahu apakah setelah itu Wira harus terapi psikologis atau tidak.

Terlepas dari beberapa hal yang agak mengganggu --bagi saya-- tetapi lagi-lagi Orizuka berhasil membuat saya harus meraih tisu dan diam-diam menghapus air mata yang mengalir deras tanpa terasa saat adegan Wira menangis di rumah sakit setelah kena hajar habis-habisan dari lawan mainnya saat bertanding di Bandung.

Catatan Lain:

Sebagai orang yang sedang belajar menulis, tulisan Orizuka banyak memberi pelajaran misalnya bagaimana membuat semua adegan, tokoh, sekecil apapun perannya tetapi semua mendukung cerita. Misalnya tentang pukulan-pukulan yang diterima Wira saat di arena pertandingan, ternyata itu menjadi keywords dalam menyelesaikan masalah Wira dan traumanya. Bahkan itulah yang menjadi kunci utama dalam novel menyelesaikan novel Apapun Selain Hujan. Tepuk tangan untuk Orizuka. Kamu cerdas, gal!   

Saturday 13 August 2016

Kopdar Akbar dan Ulang Tahun Kesembilan Goodreads Indonesia 2016


Foto-Makan-Foto-Nimbun Buku-Makan-Foto-Makan-Foto ... Terus Aja Begitu :D
Pasar Antik Triwindu: titik kumpul kopdar
Kopdar Akbar sekaligus merayakan ulang tahun ke-9 Komunitas Goodreads Indonesia kali ini diadakan di Solo. Wuaah ... saya seneng banget, lah. Eh tapi acaranya seharian, sebagai emak-emak agak kepikiran juga gimana ngatur jadwalnya. Sempat mulai ragu, tapi tiba-tiba diinbox Mbak Sani. Baiklah, setelah tanya Alvina dan Bzee run down acara kopdar, akhirnya saya  putuskan ikut dan segera transfer Rp100.000 ke panitia dan konfirmasi keikutsertaan.

Tiba-tiba sejak malam menjelang kopdar hujan turun. Bahkan pagi tanggal 13 Agustus 2016, hujan lumayan deras. Mulailah muncul rasa khawatir kalau hujan tak berhenti. Soalnya tempat ngumpul ada di area terbuka. Syukurlah pukul 8 pagi hujan tinggal menyisakan jejak basah di seluruh kota. Diantar ojek tercintah alias suami, saya menuju Ngarsuporo (pelataran parkir Pasar Triwindu) sebagai titik kumpul.
Sampai di sana, teman-teman yang datang duluan sudah action di depan kamera bareng-bareng. Tenang Buuk ntar poto sendiri.

Awalnya agak canggung gabung sama anak-anak muda segar penuh semangat itu. Berasa paling tua (memang, sih) dan banyak yang belum saya kenal, kecuali anak-anak Joglosemar yang sebagian besar sudah saya kenal dan sudah beberapa kali kopdar plus sering chat di grup wa. Sekitar 50 peserta datang dari 4 penjuru mata angin.


Setelah melakukan registrasi ala GRI saya disuruh memilih satu tote bag batik.
pingin, kan?
Mulailah saling menyapa dan berkenalan. Tak lama seksi logistik alias Ross alias Ken Petung datang membawa beberapa kardus botol air mineral dan berbungkus-bungkus cabuk rambak dan karak. Oh, kirain kita makan di salah satu penjualnya langsung, lho. Makanya saya heran karena di area situ tak ada penjual makanan, kecuali penjual barang antik di dalam Pasar Triwindu.
Oke, mari mencari tempat duduk sendiri-sendiri lalu makan sambil mengobrol sambil action tiap kali ada kamera lewat. Pokoknya kalau kopdar itu acaranya makan, foto, nambah timbunan buku, makan, foto, nambah timbunan buku ... begitu terus.
cabuk rambak

Pukul 9 lebih, rombongan yang datang dari Solo, Jogja, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bekasi, Surabaya, Purworejo, Purwokerto, Bandung ini berjalan menuju Pura Mangkunegaran. Karena takut kecapekan, saya minta izin pulang dulu dan akan bergabung lagi saat acara inti di Rumah Rempah. Sesuai jadwal, setelah dari Pura Mangkunegaran, mereka akan balik ke Pasar Triwindu untuk foto-foto (lagi) dan belanja di Pasar Antik Triwindu, baru meluncur ke Rumah Rempah untuk ishoma dan acara inti. Bzee dan Mbak Sani sudah memberi ancer-ancer letak Rumah Rempah. Di Jl Adisucipto, dari hotel Lor In masih ke barat, setelah IHS (setelah hotel Loro Jonggrang, tambahan keterangan dari Mbak Sani) belok kiri. Oke, berarti tidak di pinggir jalan utama.

Saya berangkat ke Rumah Rempah--yang ternyata namanya Rempah Rumah Karya-- dari rumah pukul 1 siang dan yakin bakal telat. Apalagi ditambah acara salah belok, kebablasan, pakai GPS yang tak membantu, yang akhirnya memakai cara manual bin konvensional yaitu bertanya pada beberapa orang. Penjual lotis, tukang tambal ban, lalu penjual hik. 

Voila akhirnya ketemu juga. Ya iyalah susah nemunya karena Hotel Loro Jonggrang yang jadi ancer-ancer tak ada papannya, begitu juga Rumah Rempah. Dan, setelah memastikan kalau rumah yang saya datangi benar (dengan bertanya pada pegawainya) saya masuk dan acara diskusi sudah berlangsung.

Mbak Sani langsung menyuruh saya makan nasi liwet atau selat solo dan Mbak Indah Darmastuti mengambilkan nasi liwet dan wedang beras kencur hangat plus mengangkatkan kursi buat saya. Duuh makasih ya Mbak. Maaf, lho, merepotkan.
nasi liwet
Sambil makan sendiri karena yang lain sudah makan, saya mendengarkan pembicara. Karena terlambat dan nggak kebagian lembar ringkasan buku Serat Centhini jadi saya agak nggak nyambung. Hanya beberapa yang sempat saya tangkap bahwa bagi orang Solo memasak untuk tamu adalah salah satu bentuk penghormatan, sementara tidak begitu di Semarang. Komposisi makanan dipengaruhi juga oleh tingkat ekonomi sebuah wilayah. Misal untuk daerah yang berada di garis kemiskinan maka menu daging akan sangat minim. Berbeda dengan masyarakat Kudus misalnya yang menyajikan Soto dengan banyak daging karena tingkat ekonomi mereka --zaman dahulu-- lebih baik.
Dari pembicara, Bang Aldo--yang ternyata lulusan jurusan Ekonomi dari Amerika (benar nggak ya?)-- dan Mas Muhammad Fauzi, diharapkan kita mau mengangkat dan membudidayakan makanan tradisional Indonesia sehingga bisa sepopuler makanan Korea dan makanan luar negeri lainnya.
desain arsitektur atapnya unik
Seperti biasa setelah itu ada sesi tanya jawab. Karena yang bertanya bakal dapat hadiah buku, jadi saya mencari-cari pertanyaan, dong (nggak mau rugi). 

Acara paling seru adalah kuis dengan hadiah buku yang dipandu oleh Kak Harun dan Uum. Rulesnya adalah salah satu maju lalu memeragakan sesuai judul buku yang ada di daftar Uum. Peserta yang bisa menebak dengan benar berhak memilik satu buku yang ada sekalian mengenalkan diri lalu gantian memeragakan judul buku dengan gerakan tubuh.  Begitu seterusnya. 
Saya benar-benar heran karena selalu ada yang bisa menebak padahal cara mereka memeragakannya malah bikin ngakak duluan.  Ada juga yang bisa nebak padahal belum diperagakan cuma dikasih clue sama Harun: 2 kata, pernah difilmkan. Haduuuh ... mereka pengunyah buku atau cenayang sebetulnya? Atau jangan-jangan dia banyak baca buku primbon atau buku Ronggowarsito, weruh sakdurunge winarah. #salim
Gerakan tubuh saya untuk menggambarkan judul buku Pangeran Kecil ternyata berhasil ditebak oleh si Dion dari Jogja.

Kali ini saya berhasil menebak 2 buku. Bekisar Merah dan Robohnya Suara Kami. Yaaayyyy! Dan inilah hasil buku yang bisa saya bawa pulang untuk menambah rak timbunan #plaks

ahseek, nambah timbunan ... eh
Eh sebelum kuis tadi ada acara tiup lilin dan pemotongan kue ulang tahun Goodreads. Dan pukul 4 lebih acara pun diakhiri dengan foto ... foto ... foto ... foto ... 

Terima kasih banyak untuk panitia kopdar akbar. Maaf ya saya nggak bantu-bantu padahal diadakan di Solo. Terima kasih untuk keseruannya. 

Semoga teman-teman yang pada tepar segera segar kembali.  Sampai jumpa lain kali!
fotografer difoto


ada jajanan pasar
Acara ini disponsori oleh Penerbit Gramedia dan Bentang Pustaka juga GagasMedia

Semoga IRF (Indonesia Readers Festival) sekali dua juga diadakan di Solo. Ya ya ya ....

The last but not least, sambil mengasah memori saya akan mencoba mengingat siapa saja yang datang dan dari mana:

SOLO:

Dokter Busyro aka Bzee
Ross aka Ken Petung
Dani aka Perdani
Alvina (sayang dia cuma ikut acara pagi sampai siang)
Sulis
Sani B Kuncoro
Indah Darmastuti
Laura
Indah (Kusumodilagan -- kayaknya)
Tiwik
Ngadiyo

JOGJA:

Dion
Wardah
Andreas

MAGETAN:
Dince aka Dina (yang terlibat perdebatan denganku masalah pecel hahahaha ...)

SURABAYA
Selvi (ternyata dari JAKARTA hahaha)

SEMARANG
Lila
Tezar
Ika
Cyndi

PURWOREJO:
Nias

JAKARTA, BOGOR, BANDUNG, BEKASI

Harun
Uum (katanya dari Bekasi)
Miaaa ( huruf a nya harus 3. Kenapa? Hanya dia dan Tuhan yang tahu)
Aldo
Sekar (eh ada nama itu nggak ya?)
Ibu Tio aka Tukang Kue Keren (dari Bandung yang datang bawa 2 putrinya eh ternyata cuma bawa 1 *sungkem)
Bunga Mawar (aslinya siapa, lupa)
Melisa (sayangnya lupa yang mana padahal sempat kenalan) dan ternyata dari SURABAYA

YANG INI LUPA DARI MANA

Pra (dari SEMARANG)
Andrebebek atau bebekandre?(dari JOGJA)
Ghozy (dari SURABAYA)

Yaah ... lumayan lah memori saya, kan?