Judul
: Limit
Penulis : Triani Retno
Penerbit : Ice Cube-KPG
Jumlah Halaman: 189
ISBN :
978-979-91-0678-0
Terbit : Cetakan I,
Februari 2014
Beberapa tahun terakhir ini kita sering mendengar istilah indigo children atau anak nila. Anak
indigo adalah mereka yang memiliki kelebihan yang sangat spesifik dibanding
anak-anak lainnya. Salah satu contoh adalah mereka memiliki kemampuan
supranatural.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa ada satu kecerdasan lain selain 8 multiple intelligences, yaitu kecerdasan
supranatural atau pseudoscience. Pada
anak indigo, mereka memiliki kemampuan melihat hal-hal gaib, bahkan ada yang
bisa berinteraksi dengan makhluk halus. Beberapa menyebutkan sebagai memiliki indra
keenam.
Limit adalah cerita tentang Keala, murid SMA yang dapat berinteraksi
dengan makhluk lain. Sejak kepindahannya dari Banjarmasin ke Bandung, Keala
beberapa kali mengalami gangguan kepala, seakan ditusuk jarum, dan mendengar
berbagai suara berdengung di telinganya.
Keala makin galau karena nilai-nilai
ulangannya hancur. Seandainya dulu Keala bukan si juara sekolah, si
murid berprestasi, semua tak jadi masalah. Tapi, sejak kepindahannya
dari Banjarmasin ke Bandung, dan sejak dia pindah sekolah ke SMA 79
Bandung, Keala si juara merasa jadi pecundang.
Bukan hanya malu
pada diri sendiri, Keala lebih tak tega pada bundanya. Hidup Bunda
sangat menderita sejak Ayah berubah hingga harus masuk penjara. Karena
itu, Keala sangat ingin membuat Bunda bahagia. Bagaimana bisa kalau
nilai ulangannya saja cuma empat koma. Satu lagi, Bunda dulu adalah
salah satu murid pintar di sekolah ini!
Bunda bangga menjadi salah satu alumnusnya (hal. 22)
Aku? Apa aku bisa bangga? Apa sekolah ini bisa bangga punya murid
seperti aku? Apa yang bisa dibanggakan dari aku? I’m nobody! (hal. 22)
Karena terus-menerus memikirkan susahnya bersaing dengan para the
winner di SMA top seperti Kevin yang suka berkelahi tapi selalu sempurna
untuk nilai Maematika, Arya pelajar teladan , atau Tasya yang tak hanya
pintar tapi juga sangat cantik, Keala jadi sakit karena stres. Maag-nya
bermasalah.
“Sakit maag nggak cuma karena terlambat atau nggak
teratur makan, lho,” lanjut dr. Citra. “Bisa juga karena banyak pikiran
dan stres.” (hal. 45)
Di saat hidup Keala jungkir balik bak
roller coaster, muncul Eizel Augusta, cowok jangkung berkacamata yang
siap menolong Keala. Kakak kelasnya yang cerdas dan penuh perhatian itu
menyebabkan Keala berhasil
move on dari nilai rapornya yang jelek.
Kevin, teman sekelas Keala yang punya otak cemerlang, diam-diam cemburu
sehingga berniat mengetahui siapa si Eizel yang selalu diceritakan
Keala. Dengan bantuan Ninna, sahabat Keala, Kevin menyelidiki Eizel
Augusta yang telah berhasil mencuri hati Keala.
Nama Eizel Augusta
tak ada dalam daftar absen semua kakak kelas mereka. Mungkinkah itu nama
samaran? Kevin makin curiga kalau Eizel punya niat buruk pada Keala.
Dia harus bertindak, demi Keala, cewek manis yang mencuri perhatiannya.
Siapa pun Eizel, berani macam-macam sama Keala, aku nggak segan-segan
bikin kamu babak belur! (hal. 146). Itulah janji Kevin untuk Keala.
Tentu saja Keala jadi bingung. Tapi, Keala tetap percaya, Eizel tidak
seperti yang dituduhkan Kevin. Apalagi, Eizel sering mengatakan “semua
akan baik-baik saja, Ke” (hal 88). “Aku akan menunggu kamu di sini …
Wherever you go, whatever you do, I’ll be right here waiting for you,
whatever it takes or how my heart breaks, I will be right her waiting
for you … (hal 89). Lagu milik Richard Marx yang baru didengar Keala
dari bibir Eizel.
Endingnya cukup mengejutkan, meskipun di sepertiga bab terakhir saya sudah mulai bisa menebak siapa Eizel sebenarnya.
Limit adalah novel teenlit yang terpilih
sebagai salah satu dari 10 naskah pilihan editor di Lomba Novel
Bluestroberi Penerbit Ice Cube-KPG. Berbeda dengan seri Bluestroberi
lainnya yang memiliki cover berkesan girly, Limit tampil dengan font dan
ilustrasi seperti komik.
Sedikit unik dari Lomba Novel Bluestroberi adalah mereka meminta sad ending dari para pesertanya. Karena itu, bagi yang suka hepi ending (kayak saya), pasti mikir dulu kalau mau baca. :)
Syukurlah meskipun sad ending, tapi Limit tidak bikin galau, dan saya suka penyelesaiannya.
Triani berhasil memberikan kisah Keala-Eizel, yang berpotensi membuat
air mata keluar, sekaligus membuat novel ini terasa manis dan segar
karena tokoh Ninna dan Kevin. Dialog-dialog dalam novel ini juga sering
membuat saya senyum-senyum.
“Kalem, Ke! Gue cuna ngingetin. Nggak baek ngelamun di sini.”
“Oh, jadi bagusnya kalau ngelamun di mana?”
“Di hati aku aja,”Kevin tersenyum lebar. (hal. 100)
Hampir sembilan puluh persen, setting novel ini di sekolah SMA 79,
tetapi tidak membuat pembaca bosan. Perpustakaan menjadi salah satu
setting yang paling sering muncul. Perpustakaan sepertinya menjadi
tempat favorit Triani, karena dia bahkan hafal nomor-nomor rak dan
segala istilah di perpustakaan.
Saya tidak menemukan typo dari
novel setebal 189 ini. Kesabaran dan ketelitian dari editor dan
proofreader-nya patut diacungi jempol.
Beberapa pertanyaan yang
mampir di kepala saya adalah tentang percakapan dan interaksi Keala dan
Eizel. Apakah tak satu pun murid di sekolah tidak pernah memergoki
Keala, mengingat jumlah murid SMA di Bandung ini tentu tidak sedikit, sehingga tak ada yang curiga dengan tingkah Keala?
Satu lagi kejangggalan yang saya rasakan adalah adegan Kevin
marah-marah di perpustakaan, mengapa Pak Dede (petugas perpustakaan)
atau yang lain seakan tidak tahu?
Terlepas dari semua kelebihan
dan beberapa kejanggalan, tapi Limit memiliki ide yang unik. Karena
itulah, penulis kukuh mempertahankan Limit menjadi judul novelnya.
Karena Limit memang didasarkan pada sebuah ide dasar tentang kalkulus.
Limit fungsi. Mendekati. Batas. Mendekati tapi tak bisa meraih. Itulah
Limit yang membuat kisah Keala dan Eizel menjadi unik.