Menjalani hidup dengan sabar, sederhana, dan bahagia.
Sabar, sederhana, bahagia. Tiga kata yang sangat sering kita dengar,
bahkan sering kita ucapkan, tapi paling sulit untuk direalisasikan.
Membaca sejenak hening membuat saya
sejenak terpekur. Tiba-tiba saya seperti mendengar suara bapak yang tegas saat
menasihati atau mengomentari keriuhan dunia saat ini. Biasanya saat kami sedang
bepergian, Bapak selalu berkomentar melihat kendaraan di jalan yang semuanya
melaju kencang, seakan-akan ada yang memburu, hingga mereka harus berlari kencang tunggang langgang.
Saat membaca halaman pertamanya yang dipenuhi endorsement dari para
public figure, saya justru melewatinya, karena saya ingin membacanya tanpa
dipengaruhi oleh komentar mereka yang tentu saja berisi banyak pujian.
Syukurlah, sejak membaca bab pertama yang diberi judul Menutup Jendela,
justru hati saya langsung terbuka untuk menerima tuturan Adjie Silarus yang
menyentil-nyentil hati.
gambar dari sini |
Sepanjang saya membaca teaser bukunya ini yang hanya berjumlah 54
halaman saya terus tersenyum dan
mengangguk-angguk. Katarsis, inilah yang saya rasakan sesungguhnya. Adjie
seperti mewakili pikiran dan hati saya.
Ada 20 bab yang bisa saya baca sebelum terbit buku cetaknya. Awalnya saya
bingung karena merasa naskahnya tidak lengkap. Lalu teman saya bilang, kalau
semua dikirim ntar bisa dibajak dong. Ah, baru sadar saya *maklum nggak pernah
niat jadi plagiator #etsah
Diawali dengan Menutup Jendela yang mengajak kita untuk "pulang", menampik keriuhan di luar yang menyakiti jiwa kita. Dilanjutkan dengan Menikmati Momen Sekarang, Menunda Bahagia, Celana Pendek Kolor, Sebuah Kehadiran yang mengingatkan kita pada pertemuan-pertemuan dengan seseorang yang kita hadiri tetapi hanya secara fisik, karena pikiran kita entah berada di mana. Adjie Silarus juga mengajak kita untuk Melatih Senyum, memakai Sepatu Baja, menghindari Stress Digital, dan lain-lain.
Bab mana yang paling menarik dari
tulisan Adjie? Semua, kalau kata saya. Makanya saya malah bingung mencari spot
paling menarik untuk saya tuliskan, karena memang membuat saya ingin
menceritakan semua kepada pembaca. *asli bukan promosi, karena saya memang tak
kenal dengan Adjie Silarus.
Di antara 20 bab yang dikirimkan kepada saya, ada satu bab yang
mengingatkan pada tausiah ustadz saya yang sudah almarhum, yaitu Menunda
Bahagia. Jika di dalam bukunya Adjie menggambarkan keinginan kita pada gadget
yang terus berganti setiap saat, maka ustadz saya menggambarkannya dengan
kendaraan.
“Saat kita hanya bisa berjalan kaki untuk menuju suatu tempat, kita berharap
punya sepeda dan kita yakin pasti bahagia. Begitu punya sepeda, kita merasa
bahagia jika punya sepeda motor. Setelah itu kita merasa bahagia jika punya mobil,
begitu seterusnya, kita ingin pesawat, lalu pesawat pribadi, lalu jet, lalu apa
lagi?”
Memang begitulah “nafsu” manusia. Padahal jika tercapai belum tentu
mendatangkan bahagia, pun jika gagal memperolehnya, tak mustahil bunuh diri
menjadi solusinya. Keinginan manusia tak akan berhenti hingga dia mati. Memang
meraih sesuatu yang kita inginkan itu mudah tetapi yang sulit justru mensyukurinya.
Karena itu Adjie Silarus mengajak kita
untuk hening sejenak, mensyukuri apa yang kita miliki sekarang, menutup
jendela jika angin terlalu kencang dan air hujan menggigilkan.
Tutup sejenak jendela facebook, twitter, BB, dan segala social media jika
keriuhannya sudah membuat kita terseret terlalu jauh, hingga lupa pada tujuan
semula. Membuat kita gelisah hingga lupa melangkah.
Nikmati apa yang kita miliki,
hikmati apa yang yang sedang kita hadapi. When walking, walk. When eating, eat.
Jika bisa demikian kita tentu tak harus mengalami kisah celana kolor
seperti yang dialami Adjie. Begitu obsesifnya dia untuk meraih impian, hingga
tak menyadari bahwa dia masih memakai celana kolor saat hendak meeting bersama
klien.
Mengangguk, diam, tertawa, tersenyum, merenung, begitulah suasana hati
saya selama menikmati tulisan Adjie yang meditatif.
Dua puluh bab yang saya terima berisi kisah-kisah sehari-hari yang patut
kita renungkan, ditulis dengan bahasa ringan dan mengalir. Kita tak harus
membaca secara urut, karena masing-masing bab berdiri sendiri. Di setiap bab diakhiri dengan quote-quote yang menarik.
Buku yang dibuka dengan bab Menutup Jendela ini diakhiri dengan kisah
perjalanan hidup Adjie yang dipenuhi kegagalan dalam bab Saya Bukan
Siapa-Siapa.
Sebelum mereview bukunya, saya sempat mengulik profilnya di sini. Foto-foto
yang diberi judul SanaSiniSila, mengingatkan saya pada pose duduk dalam gerakan
yoga.
Adjie Silarus rupanya adalah
seorang meditator (ahli meditasi) dan menjadi corporate trainer sejak
2010 sampai sekarang dengan membagikan beragam materi seputar meditasi dan
happiness dalam bentuk pelatihan, seminar, dan konsultasi mengenai cara
mengurangi stres, cerdas emosi, fokus, konsentrasi, hidup sadar, lebih damai
dan bahagia.
Mari hening sejenak, sebelum beranjak.
sepertinya bukunya menarik. Aku juga dapat pdfnya. Jadi pengen baca :D
ReplyDeleteAyo dibaca Mbak Leyla, asyik, kok. Abaikan endorsment *itu saya :)
Delete